Karya: rayarana:)
Sarinah akhirnya memutuskan untuk pulang kampung ke Tasikmalaya esok hari. Sarinah bergegas pergi ke puskesmas untuk rapid test apakah Sarinah positif Corona atau tidak.
Harapannya bisa mengantri paling depan. Sarinah yang baru saja di pecat dari tempat pekerjaannya itu langsung menaiki motor hitamnya. Ketika tiba di puskesmas, ternyata harapannya itu sirna begitu saja. Ada banyak yang mengantri, mulai dari ibu-ibu, anak kost yang diusir, hingga para preman yang sudah tidak ada bahan siapa yang akan dipalaknya. Dia akhirnya berdiri di barisan paling belakang. Satu jam berlalu, akhirnya Sarinah berdiri ditengah-tengah antrian yang tanpa kipas angin itu.
“Mbak perantau ya?, mau mudik kemana nih sekarang?”. tanya Siti, orang yang duduk bersampingan dengannya
“Sumuhun teh, saya perantau ti Tasik, mau pulang kampung”. Jawab Sarinah
“Mbak belum punya karcis kayak gini kan?”. Siti menunjukkan karcis
“Emang karcis kayak itu teh buat apaan?”. Tanya Sarinah kebingungan
“Karcis ini itu buat bisa gampang cek nya mba”. Jawab Siti
“Beli dimana karcis itu teh?”. Tanya Sarinah
“Saya ngejual kok mba”. Jawab Siti
Setelah membeli karcis, Sarinah melihat karcis itu dengan teliti. Ada tulisan yang aneh didalam karcis itu “orang miskin dilarang sakit!”.
Akhirnya setelah menunggu berjam-jam Sarinah berdiri didepan loket pendaftaran. Dan dibelakang Sarinah ada ibu-ibu yang mengeluarkan keringat. Baju daster corak bunganya kelihatan basah kuyup. Anak yang digendongnya meringik keras. Dan itu membuatnya mengingat anak-anaknya di Tasik. Sebagai seorang ibu yang pernah mengalami hal itu, Sarinah akhirnya membiarkan ibu itu untuk menggantikan posisi duduknya.
“Teh, itu bayinya kasihan, silahkan duluan aja”. Ujar Sarinah beranjak dari tempat duduknya
“Makasih banget pok, saya jadi kaga enak nii”. Kata si Ibu langsung duduk
Sedang menunggu gilirannya tiba, seorang pria dengan otot besar menyeramkan yang penuh tato berlarian dari smoking area menghampirinya.
“Mbak misi dong, saya asalnya sesudah ibu-ibu yang menggendong anak itu”
Karena ketakutan, Sarinah akhirnya mundur terpaksa. Terdengar seseorang berkata dengan suara yang serak.
“Hey, lu yang so jagoan, ngantri dong jangan se enaknya gitu”
“Lu nantang gelut hah?!”
“Bener tuh, jangan se enak nya, kita harus sama-sama ngantri woy. Pake ngancem gelut segala, dasar pengecut!”
“Lu manggil gue pengecut? Lu belum tau siapa gue hah”
“udah lah bang, jangan ngelawan terus udah-udah ngantri dari awal sono”
Pemuda yang penuh tato itu pun akhirnya mengalah. Dan suasanapun seketika hening.
Penantian yang panjang akhirnya menghasilkan hasil yang memuaskan. Sarinah akhirnya di rapid test dan hasilnya negatif. Sisa uang yang dipegang Sarinah tinggal 50.000,00 lagi. Tapi yang ada dipikiran Sarinah itu bukan uang sekarang. Yang ada dipikirannya sekarang adalah keluarga di kampung halamannya. Sarinah yang berbahagia itu berjalan sambil mengangkat telepon dari ibunya.
“Neng, iraha atuh uih teh? Ieu dulur-dulur tos sarumping. Barudak naranyakeun wae”
“Muhun mak, insya allah neng uih enjing. Emak hoyong pang nyandakeun naon?”
“ Wios neng, emak mah ulah pang nyandakeun nanaon, enggalan uih we karunya baruak ngatosan pisan”
Masih belum tamat Sarinah bercakap-cakap dengan ibunya, terdenagr suara ribut dari antrian.
Seorang yang memakai jas berdasi, sepatu pentopel itu terlihat sedang bebincang dengan orang-orang, hinggga menimbulkan keributan. Kerudung coklat yang dikenakannya tersenggol kesana-kemari. Sarinah lebih memperhatikan sandalnya yang ditendang kesana kemari.
“Bang, aku juga mau dong duit”
“Lu mau duit? Ya minggir, gua duluan lu mundur lagi”
“Woy mentang-mentang banyak duit, lu enak aja main bayar-bayar orang”
“Hey! yang punya uang itu enak. Kamu-kamu yang miskin mending diem dulu ajah. Dasar sampah masyarakat! Dan ingat, yang miskin dilarang sakit!”
Orang-orang saling membalas ocehan yang tanpa tahu siapa yang menjadi lawan bicaranya. Barisan mulai ancur ngawur. Ditengah perebutan uang itu, Sarinah memperhatikan seorang yang agak tua menyelinp di barisan.
“Eeee, dikasih nyelinap aja tu bapa”
“Kasihan bung, orang tua”
“Gak tahu apa, yang lain kegerahan”
Sarinah memutuskan untuk melangkahkan kakinya keluar pintu.
Terdengar suara speker sangat keras dari atap puskesmas.
“Harap antri dengan tenang tuan-tuan!”
Di abaikan.
“Heh lu orang kaya udah cepet ngantri sono!”
“Heh lu orang tua jangan maen nyelinap-nyelinap napa?!”
“Gue itu preman disini jangan asal bicara lu!”
Sarinah yang terus berjalan akhirnya sampai juga di depan pintu keluar. Ada ibu-ibu yang menuntun anaknya yang umur tiga setengah tahunan itu duduk santai saja dikursi tunggu.
“untung budak aing henteu manja”.
0 Comments:
Posting Komentar